Kemudahan Setelah Kesulitan - Setiap orang yang hidup di dunia ini tentu akan melewati beragam
peristiwa. Perubahan keadaan adalah suatu kepastian karena dunia hanya
persinggahan sementara. Hakikat ini harus kita pahami agar kita tidak
lupa diri kala memperoleh kenikmatan duniawi dan tidak pula
berlarut-larut dalam kesedihan atas materi yang luput kita dapatkan.
Allah l berfirman:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(al-Hadid: 22—23)
Sungguh, berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan berbagai problem
yang mengimpit dirasa berat oleh jiwa. Manusia pun berbeda-beda dalam
menyikapinya. Seorang mukmin sejati akan menghadapinya dengan penuh
keteguhan hati, sedangkan orang kafir atau yang lemah imannya—karena
tidak memiliki pegangan keyakinan yang kuat—akan terombang-ambing dan
salah jalan. Di antara mereka ada yang bunuh diri atau mendatangi dukun
dan paranormal. Ada pula yang menempuh cara-cara sadis seperti membunuh,
memukul, dan merampok.
Peristiwa Dahsyat Menyingkap Jatidiri
Dalam kondisi biasa dan tidak ada masalah, kepribadian seseorang
terkadang sulit untuk diketahui. Dalam keadaan yang serba sulit akan
muncullah jatidirinya yang sesungguhnya. Allah l berfirman:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan,
‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)
Dalam surat al-Baqarah, Allah l menyebutkan tekad dan semangat para
pembesar Bani Israil untuk memerangi musuh mereka yang jahat, yaitu Raja
Jalut dan pasukannya. Mereka meminta kepada nabi mereka setelah
wafatnya Nabi Musa q agar diangkat seorang raja yang akan memimpin
mereka berperang. Permintaan mereka dikabulkan dan diangkatlah Thalut
sebagai raja mereka. Ketika mereka berangkat berperang, di tengah
perjalanan kesabaran mereka mulai melemah. Puncaknya adalah ketika
mereka berhadapan langsung dengan pasukan musuh. Semangat yang tadinya
membara kini tinggal cerita. Kebanyakan mereka mundur. Hanya sedikit
yang teguh menghadapi musuh. (lihat pada al-Baqarah ayat 246—249)
Oleh karena itu, Rasulullah n melarang umatnya mengharap-harap datangnya musuh dan bala’ (bencana). Beliau n bersabda:
لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاصْبِرُوْا
“Jangan kamu mengharap-harap bertemu dengan musuh. (Akan tetapi,) bila
kamu bertemu dengan mereka maka bersabarlah.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Al-Munawi t menerangkan, “Berjumpa dengan musuh adalah urusan terberat
yang dirasakan oleh jiwa. Urusan yang belum tampak tidak seperti yang
sudah terlihat nyata. Ketika yang dinanti-nanti menjadi kenyataan, tidak
mustahil yang terjadi adalah kebalikan dari yang diharapkan. (Faidhul
Qadir 6/504)
Tidak Putus Asa
Kondisi sulit yang berlarut-larut bisa menyeret kepada sikap pesimis
atau berputus asa dari rahmat Allah l. Bila keadaan seorang sampai pada
taraf ini, dia telah terhinggapi sifat kekufuran. Allah l berfirman:
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang
berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)
Kekafiran yang ada pada mereka menjadikan mereka menganggap jauh rahmat
Allah l, sehingga rahmat-Nya pun menjauh. Oleh karena itu, kita dilarang
meniru mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki sikap
berharap sesuai dengan kadar keimanannya.
Seorang yang mengetahui luasnya rahmat Allah l tentu tak akan
terhinggapi sikap pesimis. Bahkan, dia yakin bahwa setiap ada kesulitan
pasti akan datang kemudahan setelahnya. Allah l berfirman:
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath-Thalaq: 7)
Dahulu ada seseorang yang biasa menyewakan bighal (peranakan kuda dengan
keledai) dari Damaskus ke negeri az-Zubdani. Ketika ia melakukan
perjalanan, ada seseorang yang menemaninya. Di tengah perjalanan, di
tempat yang sepi dan jauh dari lalu lalangnya manusia, orang yang
menemaninya justru ingin merampok hartanya dan membunuhnya. Setelah
orang itu diingatkan dengan Allah l dan azab-Nya namun tetap pada
tekadnya untuk membunuh, akhirnya dia pasrah. Ia meminta waktu untuk
shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Ketika ia berdiri shalat tak ada satu
ayat pun yang bisa keluar dari lisannya karena dahsyatnya keadaan.
Selang beberapa saat, keluar dari lisannya ayat:
“Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping
Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).”
(an-Naml: 62)
Lalu, dia melihat seorang penunggang kuda membawa tombak mendatanginya
dengan cepat. Setelah dekat, orang itu langsung menombak si perampok
tersebut hingga mati. Orang itu ditanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab,
“Aku adalah utusan Dzat yang mengabulkan doa orang yang kesulitan.”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Naml ayat 62, 3/383)
Jalan Keluar dari Kesulitan
Penderitaan yang dialami manusia dengan beragam bentuknya bukan berarti
tidak ada penyelesaiannya. Allah l lebih sayang terhadap hamba-Nya
daripada si hamba terhadap dirinya sendiri. Ada jalan keluar yang
terbaik bagi seseorang sehingga terlepas dari malapetaka yang sudah
menimpa atau menangkal musibah yang akan turun. Di antaranya:
1. Mendekatkan diri kepada Allah l dengan menjalankan ketaatan dan
meninggalkan hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah l. Ini
sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya rahmat Allah l amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raf: 56)
2. Memperbanyak tobat dan istighfar kepada Allah l, karena umumnya
petaka yang menimpa disebabkan kemaksiatan dan dosa. Orang yang
beristighfar dan mengakui kesalahan akan memperoleh kucuran rahmat dan
rezeki dari arah yang tidak terduga. Allah l berfirman menyebutkan
ucapan Nabi Nuh q kepada kaumnya:
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada
Rabbmu—sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun—, niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan
anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun serta mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10—12)
3. Memperkenalkan diri kepada Allah l ketika dalam keadaan lapang,
dengan selalu menjaga batasan-batasan-Nya dan menunaikan hak-Nya.
Disebutkan dalam hadits Qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ … وَلَئِنْ سَأَلنَِيِ لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي
لَأُعِيْذَنَّهُ
“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan
sunnah hingga Aku mencintainya … Apabila ia meminta kepada-Ku niscaya
Aku akan memberinya, dan apabila ia meminta perlindungan kepada-Ku
niscaya Aku akan melindunginya.” (HR. al-Bukhari no. 6502)
Adh-Dhahak bin Qais t berkata, “Ingatlah kamu kepada Allah l di saat
senang, niscaya Ia mengingatmu di saat sulit. Sungguh, dahulu Nabi Yunus
q selalu ingat Allah l, sehingga tatkala ia ditelan ikan, Allah l
menyelamatkan beliau. Allah l berfirman:
“Maka sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat
Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari
berbangkit.” (ash-Shaffat: 143—144)
Adapun Fir’aun adalah seorang yang melampaui batas dan tidak mengingat
Allah l. Ketika tenggelam, ia berkata, “Aku beriman sekarang.” Allah l
pun berfirman:
“Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Yunus: 91)
Disebutkan dalam hadits yang masyhur tentang tiga orang yang masuk ke
dalam goa lalu pintu goa itu tertutup oleh batu besar. Kemudian Allah l
menyelamatkan mereka dengan menggeser batu itu hingga mereka bisa
keluar. Allah l mengabulkan doa mereka karena mereka memiliki simpanan
amal kebaikan di saat lapang. Amalan-amalan mereka adalah berbakti
kepada kedua orang tua, meninggalkan kekejian padahal mampu
melakukannya, dan menunaikan amanah atau menjaga titipan orang. (lihat
kitab Nurul Iqtibas karya Ibnu Rajab t)
Demikian pula seperti yang Nabi n sebutkan dalam hadits:
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ
“Dan barang siapa memudahkan orang yang kesulitan maka Allah l mudahkan
baginya di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang
muslim maka Allah l akan tutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Allah l
akan membantu seorang hamba selama hamba mau membantu saudaranya.” (HR.
Muslim)
4. Memohon kepada Allah l dan mengarahkan hati hanya kepada-Nya. Allah l berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka
itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
Pintu Allah l selalu terbuka bagi hamba yang menghendaki-Nya meskipun seluruh pintu dan jalan yang selain-Nya tertutup.
Dahulu, sekelompok orang musyrik berlayar di lautan. Perahu yang mereka
naiki diombang-ambingkan oleh gelombang laut yang dahsyat. Lalu mereka
berdoa kepada Allah l dengan setulus hati mereka dan mencampakkan segala
yang mereka sembah selain Allah l. Allah l pun mengabulkan permintaan
mereka, meskipun setelah tiba di daratan mereka kembali menyekutukan
Allah l. Jika doa mereka dikabulkan padahal mereka musyrikin, tentu
orang yang beriman lebih mulia. Intinya hanyalah seseorang benar-benar
mengarahkan permohonannya kepada Allah l serta membuang jauh-jauh
ketergantungan kepada selain-Nya.
Rahasia di Balik Datangnya Kemudahan setelah Kesulitan yang Dahsyat
- Kesulitan yang telah sampai puncaknya menjadikan seseorang tidak lagi
bergantung kepada makhluk, sehingga hanya kepada Allah l dia bergantung.
Apabila seseorang hanya bersandar kepada Allah l, permohonannya akan
dikabulkan dan kesulitannya akan dihilangkan. Allah l berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (ath-Thalaq: 3)
- Apabila dahsyatnya petaka telah meliputi seorang hamba, dia harus
berupaya keras untuk memerangi godaan setan yang membisikkan sikap putus
asa dari rahmat Allah l. Balasan atas upaya keras untuk menepis godaan
setan ini adalah dilepaskannya ia dari malapetaka. Bentuk godaan setan
tersebut di antaranya adalah agar seseorang meninggalkan berdoa bila tak
kunjung dikabulkan.
Nabi n bersabda:
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Dikabulkan (doa) salah seorang kalian selagi tidak tergesa-gesa,
(dengan) ia mengatakan, ‘Aku telah berdoa namun tidak kunjung
dikabulkan’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab ad-Da’awat dan Muslim dalam
adz-Dzikru wad Du’a)
- Apabila seorang mukmin melihat kesulitannya tidak kunjung selesai dan
hampir berputus asa—setelah sering memohon kepada Allah l—hal ini akan
membuahkan sikap introspeksi diri.
Dia menyadari bahwa doanya belum dijawab karena hatinya masih kotor.
Perasaan seperti ini mendorongnya untuk bersimpuh hati secara total di
hadapan Allah l serta mengakui bahwa permohonannya belum pantas
dikabulkan. Dengan demikian, dia akan cepat dilepaskan dari malapetaka.
(lihat kitab Nurul Iqtibas karya Ibnu Rajab t bersama al-Jami’
al-Muntakhab, hlm. 212—213)
Buah Kesabaran
Semua orang, baik mukmin maupun kafir, pasti mengalami cobaan hidup.
Hanya saja, orang yang beriman berbeda dengan orang kafir dalam
menyikapinya. Masa-masa sulit yang dialaminya dia hadapi dengan
keteguhan hati, ridha terhadap ketentuan Allah l, dan berbaik sangka
kepada-Nya. Adalah Nabi Ya’qub q diuji oleh Allah l dengan terpisahnya
ia dari anak yang sangat dicintainya, yaitu Nabi Yusuf q dan saudaranya.
Berpuluh-puluh tahun Nabi Ya’qub q menahan penderitaan hidup. Akan
tetapi, ia tidak pernah berputus asa. Dia berkata kepada anak-anaknya:
“Pergilah kalian, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)
Beliau juga berkata dengan penuh harapan:
“Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku.” (Yusuf: 83)
Allah l mewujudkan harapan Ya’qub q. Allah l pun mempertemukan bapak dan anak yang saling merindukan ini.
Kisah orang-orang yang dilepaskan dari penderitaan hidup, baik umat
terdahulu maupun di umat ini, telah banyak dibukukan. Di antaranya kitab
al-Faraju Ba’da asy-Syiddah dan Mujabid Da’wah karya al-Imam Ibnu Abid
Dunya t. Demikian pula kitab-kitab yang menyebutkan tentang karamah para wali yang ditulis oleh ulama Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sejarah.
Hal ini membuktikan bahwa Allah l mendengarkan rintihan hamba-Nya serta
melepaskan penderitaan orang yang hanya bergantung kepada-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.)